Islam, Budaya Madura dan Ekonomi
- Diposting Oleh Admin Web LP2M
- Sabtu, 2 Maret 2024
- Dilihat 238 Kali
Fakta antropologis menegaskan bahwa tidak ada proses akulturasi yang sepi dari ketegangan. ketika dua nilai budaya bertemu selau melibatkan unsur-unsur kontradiktif keduanya. Hanya dengan kecerdasan dan kreatifitas para pendukung suatu budaya, ketegangan ini dapa di bungkus dalam simbol-simbol makna yang melampaui realitas permukaan sebuah tradisi. di sisi lain, sejarah memperlihatkan bahwa proses akulturasi tersebut tidak pernah pari purna, ia telah, sedang tetap akan berlangsung dan in merupakan rahasia keberlangsungan suatu budaya yang selayaknya disadari setiap pendukungnya.
Dalam hubungan Islam, budaya dan perempuan, dialog keduanya harus di lakukan dengan melihat hard core masing-masing dan di lanjutkan dengan memangkas ranting-rantingnya yang mewujud pada tradisi tetapi terlajur di pandang sebagai inti budayanya (dan atau agama). Di atas segalanya, Islam memandang perempuan sebagai agen merdeka dengan potensi spiritual dan intelektual yang setara dengan laki-laki; karenanya secara etis ketuhanan keduanya dibebani tanggung jawab dari setiap perbuatannya. Inilah hard core islam yang secara tegas (qath’i) di sebutkan dalam al-qur’an, sementara budaya Madura sebagai contoh, memandang wanita sebagai sumber dan simbol kehormatan keluarga. Kehormatan di maksud adalah kesucian hubungannya dengan lelaki dalam bingkai pernikahan yang di benarkan agama dan karenanya di bela oleh tradisi dan budayanya. Inilah hard core Madura tentang wanita. Di luar dua hard core ini dapat di pandang sebagai ranting yang karena perkembangan masyarakat niscaya dan bahkan harus diubah dan di transformasikan.
Dengan cara pandang di atas, dapat di nyatakan secara lugas bahwa posisi dan peran wanita yang di bingkai kedalam peran domistik ansich (sumur, dapur dan kasur) merupakan penyimpangan dan pemaknaan yanga salah terhadap hard core tersebut di atas. Ya lebih merupakan bias kelas bangsawan yang ,memang menciptakan jarak dan strategi differant untuk meraup privelege. Dalam fakta sejarah, antropologis dan sosilal gambaran tentang puteri ala keraton ini tidak berlaku di masyarakat. Di hampir semua masyarakat Nusantara, perempuan memiliki akses yang amat besar di luar wilayah sumur, dapur dan kasur.
Tetapi di sayangkan penggambaran puteri keraton ini kembali di perkuat oleh kelas menengah modern dengan mengusung dunia wanita Victorian abad XVIII; dan di tasbihkan oleh tradisi Arab abad VII – IX yang terlanjur di lihat sebagai islam itu sendiri.
Karenanya dengan bardasar pada hard core islam, dan Madura di dukung dengan fakta-fakta sejarah, Antropologis dan sosial di masyarakat bawah, gambaran perempuan ala kraton, Victorian abad VIII dan ala tradisi Arab abad VII – IX tersebut mesti di nyatakan batal. Kedepan hubungan pria–wanita dapat di bangun dengan lebih egalitas dan manusiawi tanpa di bebani bias-bias ketiga kelompok ini.
Kita yakin sepenuhnya, ketika kedua hard core tersebut di pertemukan akan menghasilkan gambaran perempuan yang jauh lebih bermartabat dengan peran-peran publik yang terbuka lebar baginya tanpa harus meninggalkan peran abadinya sebagai ibu. Allahu Akbar